Minggu, 31 Januari 2010

Susahnya Menerima Kritikan

Tak banyak orang yang bersedia dikritik, karena bagi kebanyakan orang, kritik merupakan bentuk dari sebuah penghinaan. Meskipun kritik tersebut disampaikan dengan kemasan parody misalnya.

Republik mimpi, salah satu acara humor yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV, mendapat somasi dari beberapa pejabat Negara. Mereka mengungkapkan bahwa sosok Butet yang berperan sebagai Presiden SBY pada kala itu, dianggap melecehkan pimpinan Negara.

Ya, di negeri tercinta ini, kritik belum menjadi budaya. Bagi K.H. Mustofa Bisri (Gus Muh) kritik adalah sebuah bentuk kasih saying,berarti si pengkritik masih perhatian dan memperhatikan masalah atau kekurangan-kekurangan kita. Dari kritik tersebut, kita bias mengintrospeksi diri terhadap segala yang sudah kita lakukan dan memotivasi untuk menuju kearah yang lebih baik.

Apabila masyarakat tak mau dilritik, maka tak akan terjadi hal apapun,kecuali ia tak bisa membaur dan diterima oleh masyarakat karena dianggap keras kepala. Nah, bagaimana dengan pemerintah yang tak mau dikritik?

Jika itu terjadi alangkah naifnya mereka. Karena pemerintahan bias menjadi sombong, otoriter dan merasa benar. Alngkah sombongnya jika seseorang,lembaga bahkan pemerintah yang tak mau dikritik.

Dizaman Orde Baru misalnya, Pemerintah cenderung kebal kritik dan tak mau dikritik, sebab-sebab itukah yang memicu ambruknya Pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa berpuluh-puluh tahun. Dimasa Orde Baru juga banyak tahanan politik dari golongan cendekiawan dan aktifis. Mereka ditahan karena dianggap terlalu keras dan berani terhadap pemerintah.

Seperti yang dialami oleh Den Baguse Ngarso, dalam salah satu acara di TVRI yang berimbas pada pemenjaraan terhadap dirinya, karena menyamakan penguasa Orde Baru dengan gambar uang lembaran Rp.500,- pada waktu itu.

Ada beberapa lelucon yang terkenal pada masa orde baru, antara lain “Mengapa pada masa orde baru,orang Indonesia kalau sakit gigi harus berobat ke Singapura? Karena pada saat itu,orang Indonesia tak boleh membuka mulut apalagi bersuara.”

Akankah kesalahan itu akan terulang dimasa-masa Reformasi sekarang ini? Haruskah kita mengulang ironi? Yang telah mengorbankan banyak tokoh yang berpotensi dinegeri ini, dengan memenjarakan dan membuangnya, hanya dengan alasan mereka mengkritik?

Referensi http://kudus.olx.co.id/


0 komentar:

Posting Komentar