MUSIM panas Mei-Juli 2011 lalu, Imas Masturoh (23) dan Iskandar (23), anggota Gerakan Pramuka Gudep 07-081/07-082 UIN Jakarta, mengikuti program International Camp Staff (Summer Camp) di Amerika Serikat. Keduanya mewakili Indonesia untuk memberikan pembinaan terhadap ribuan pramuka penggalang AS yang dipusatkan di Colorado dan Los Angeles.
Imas dan Iskandar terpilih mewakili Indonesia setelah bersaing dengan ratusan calon peserta lain dari seluruh Indonesia. “Dari Indonesia yang lolos seleksi ada tiga. Seorang lagi, Deasy, mahasiswi dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang ditempatkan di Texas,” kata Imas.
“Seleksinya cukup ketat, meliputi aspek bahasa, kepribadian, prestasi di pramuka, dan pengetahuan mengenai budaya Indonesia serta dunia,” ujar Iskandar menambahkan.
International Camp Staff (ICS) merupakan program tahunan Boys Scout of America (BSA) atau Gerakan Pramuka di Indonesia. Tujuannya untuk mendidik para pramuka Amerika berusia antara 10-18 tahun dalam berbagai bidang keahlian. Tahun ini program ISC diikuti oleh sekitar 100.000 orang dari 50 negara peserta anggota World of Scout Movement (WOSM). Acara Summer Camp itu dibuka Presiden AS Barack Obama.
“Pendidikan kepramukaan di AS itu cukup bagus juga. Selain peserta didiknya diarahkan untuk menjadi pemimpin yang berkarakter, mereka juga sangat dituntut memiliki keahlian dalam berbagai bidang melalui pencapaian tanda kecakapan khusus atau TKK (merit badge),” kata Imas, sarjana lulusan Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (PBI-FITK) tersebut. Pencapaian merit badge itu tak lain untuk menempuh pramuka mahir, yakni Eagle Scout atau Pramuka Garuda di Indonesia.
Nasionalisme warga AS juga patut dibanggakan. Mereka di antaranya sangat mencintai bendera negaranya sendiri. Menurut Iskandar, hampir di setiap baju warga AS selalu terpasang bendera kebanggaan mereka yang berlambang garis-garis merah-putih, persegi panjang berwarna biru, serta 50 bintang itu.
Sebagai wakil dari Indonesia, Imas dan Iskandar berangkat ke AS dalam waktu berbeda alias tidak sama. Bahkan Iskandar sempat tertunda selama tiga minggu karena persoalan visa. “Saya tertunda karena nama dan daerah asal saya, Semarang, konon berbau teroris,” tutur mahasiswa semester IX Jurusan PBI-FITK itu.
Banyak pengalaman lucu dan menarik selama perjalanan menuju AS dari keduanya. Imas misalnya, ia sempat dikira TKW saat transit di Bandara Taipei, Taiwan. Soalnya, di antara para penumpang pesawat, Imas adalah satu-satunya wanita berkerudung. Saat transit itu, ia tiba-tiba ditarik seorang petugas imigrasi bandara dan diinterogasi. Namun, setelah dijelaskan, barulah petugas itu mengerti.
“Malah saya dikira turis dari Malaysia karena wajah saya Melayu dan berkerudung,” cerita Imas. Tak hanya itu, ia juga diinterogasi secara ketat saat tiba di Bandara Los Angeles dari Taipei oleh petugas dari Homeland Security Department. Seluruh tubuh Imas dipindai tanpa kecuali, mulai dari ujung kepala hingga sepatu.
Selama tinggal di camp, baik Imas maupun Iskandar, bergabung dengan sejumlah peserta lain dari berbagai negara. Mereka berbagi tugas sesuai keahlian masing-masing untuk mengajarkan mengenai berbagai keahlian. Mekanismenya, selama seminggu sekali para peserta didik (pramuka) AS itu datang secara bergantian ke acara Summer Camp setiap hari Minggu selama sekitar sembilan minggu. Mingggu pertama adalah untuk staff week atau training for staff, sedangkan minggu kedua hingga keempat untuk pelatihan peserta.
Menariknya lagi, berkemah ala pandu AS berbeda dengan Indonesia. Jika pramuka Indonesia dituntut harus “serba mandiri” dan selalu “kedinginan”, pramuka AS justru dapat menikmati fasilitas di area camp secara menyenangkan. Untuk persoalan makan misalnya, panitia sudah menyediakan para juru masak profesional dan dengan menu yang berselara. Begitu pula untuk keperluan mandi, di setiap kabin sudah tersedia air hangat yang kapan pun dapat dinikmati.
“Memang terkesan mewah, tapi pramuka AS tetap memiliki semangat berlatih dan berprestasi, bukan pemalas,” kata Iskandar, yang ditempatkan di Camp Forest Lawn Scout Reservation, Los Angeles. Pemerintah AS juga sangat menaruh perhatian terhadap pandu-pandunya yang berprestasi seperti Eagle Scout, misalnya dengan menyediakan beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Hal yang sama juga dirasakan Imas Masturoh selama pengalaman menjadi staff di Camp Alexander, Colorado, bersama peserta dari Polandia. Selain “mewah” area berkemah itu juga lengkap dengan berbagai fasilitas modern.
“Ada kejadian kaget bercampur malu. Saat bendera Indonesia dinaikkan oleh panitia, saya sempat protes karena warna benderanya terbalik. Saya bilang, Sorry Sir, bendera Indonesia terbalik. Setelah dijelaskan bendera itu ternyata milik Polandia, yang sama warna namun dengan posisi putih di atas dan merah di bawah,” kenang Imas.
Sumber pramukanewss.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar